Minggu, 30 September 2012

OAM: Tradisi berpikir Hipotesis orang jawa

Pada kali ini, saya berkesempatan untuk berkoar-koar soal budaya Jawa dalam ranah khas pemikirannya.  Setelah beberapa hari ini mencoba menguji taktik white SEO dan black SEO di kedua blog saya yang lainnya, sehingga mungkin perhatian saya terhadap blog ini sedikit terbengkalai.
Seperti yang kita tahu, orang jawa memang memiliki kekayaan budaya yang tinggi, yang ternyata banyak mempengaruhi gaya hidup orang jawa itu sendiri, terutama pemikirannya.  Tradisi budaya jawa yang cenderung kepada hal mistik punya daya tarik tersendiri ketika kita mulai menggali berbagai bidang ke-Jawa-an, seperti halnya hutan simbol, begitu istilah yang dipakai oleh Suwardi Endraswara di bukunya: "Falsafah Hidup jawa", mengutip dari idiom di dalam buku "The forest of symbol" karangan Victor turner.  Artinya budaya jawa memang cenderung metaforis, diterapkan dalam bentuk-bentuk istilah atau simbol yang mewakili keadaan dibalik makna sebenarnya.  Nah, disinilah letak keunikannya.  Kebiasan simbolism itu yang kita lihat dari banyak sekali aspek hidup jawa, entah itu cara berpakaian, kebudayaan, kesenian, bahkan arsitektur rumah.

OAM, atau merupakan akronim dari Othak-Athik Mathuk(artinya diutak-atik nyambung), adalah salah satu produk tradisi jawa yang terkena imbas dari simbolisasi itu tadi.  Kenapa saya bilang 'imbas'?,  pada dasarnya simbolisasi dalam budaya jawa itu mengarah pada sesuatu yang samar, tidak konkrit, multitafsir, atau berkenaan dengan segala kemungkinan yang bisa diartikan.
Kebanyakan orang menilai bahwa OAM ini hanyalah pola fikir yang asal-asalan saja, tidak sistematis, asal disambung, asal ketemu, asal gathuk.  Padahal OAM ini, jika dirunut dan dipahami lebih dalam, merupakan hasil dari kebiasaan orang jawa dalam memetafor-kan falsafah hidupnya ke dalam simbolisme.  Contohnya aksara jawa yang bisa didekati dengan lebih dari satu bidang tafsir, yang kesemuanya memang berkaitan, berkat pemikiran OAM ini.

Aksara jawa yang terdiri dari 20 huruf itu dalam salah satu pendekatan tafsirnya diartikan sebagai dokumentasi unik yang singkat namun berarti tentang sebuah cerita didalamnya.  Hanacaraka(ada utusan), datasawala(saling bermusuhan), padhajayanya(sama-sama kuat), magabathanga(keduanya mati semua), yang jika dirangkai kepada cerita utuh, itu membentuk cerita pendek begini:

Suatu hari ada dua orang utusan dari kedua kerajaan yang bermusuhan, kemudian keduanya berperang habis-habisan, yang karena keduanya sama-sama pilih tanding dan tak ada yang mau mengalah, maka keduanya mati di dalam pertempuran.

Itu hanya salah satu saja dari sekian sudut pandang menggunakan tradisi OAM, ada penafsiran lain yang juga bisa ditarik dari susunan aksara jawa tersebut menggunakan pisau analisis OAM: hana-caraka: hana yang berarti 'kenyataan atau ada', mengiaskan ilmu kasunyataan atau filsafat ada.  Caraka: mengandung aksara yang menyiratkan Cipta(akal), Rasa(budi), dan Karsa(kehendak), kelengkapan hidup manusia.  Datasawala: mengiyaskan tentang Dzat yang datasawala, artinya Dzat yang tidak pernah salah dan tidak pernah dapat salah, Dzat yang lepas dari segala pensifatan; yaitu Dzat Tuhan.  Padhajayanya: Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan penyeimbang, dengan berpasangan, yang keduanya sama kuat.  Magabathanga: Ini menyatakan bahwa ketika Ma(sukma) dan ga(raga) masih bersatu, berarti manusia itu dinyatakan hidup, sedangkan jika keduanya terpisah, maka itu disebut mati, dan yang tersisa adalah bathanga, bangkainya.

Di atas adalah dua dari berbagai pendekatan filosofis yang bisa diambil dengan OAM, terkesan disambung-sambungkan, dan memang begitulah cara berfikir OAM orang jawa, agak spekulatif.  Tapi apakah kemudian OAM ini menuju kepada sesuatu yang negatif?, tidak, karena pada dasarnya analisis berfikir ini meski dipandang kurang ilmiah, adalah sebuah naluri berfikir yang tak terbantahkan.
OAM merupakan salah satu jalan awal dalam tradisi berfikir manusia, sebuah pembentuk hipotesa yang kemudian harus dicari kebenarannya.  Analisis OAM ini menyangkut kepada banyak hal, memandang segala sesuatu itu bisa menjadi tersirat atau simbolik, atau juga berkaitan dengan sesuatu hal lain, sehingga kemudian dengan analisis OAM, banyak hal yang terungkap kebenarannya.

Tradisi berfikir ala OAM ini juga mewarnai proses penemuan besar banyak ilmuwan, bayangkan saja, bagaimana Faraday kemudian mampu menciptakan asas motor listrik jika tidak 'dirangsang' oleh penemuan Oersted soal jarum magnit kompas biasa dapat beringsut jika arus listrik dialirkan dalam kawat yang tidak berjauhan?, dia, Faraday, mengawali penemuannya dari sebuah dugaan.  Analisis OAM dalam hal ini punya andil besar untuk merangsang pemikiran.  Lalu kita akan menemukan fakta-fakta lain dari permulaan penemuan besar yang didahului oleh proses perenungan dan analisis OAM.

Tapi bagaimanapun, tradisi OAM yang tidak berlanjut pada pencobaan pembuktian bisa menimbulkan akibat yang fatal, akan menjadi sebuah pemikiran yang taken for granted saja sehingga kebenaran terganti menjadi sebuah hal yang spekulatif semata.  Dalam istilah lain, hanya asal nyambung saja tanpa dilanjutkan kepada tahap pembuktian teori.  Seperti yang dipesankan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono bahwa "tradisi OAM itu sah, boleh.  Namun agar diarahkan bisa melahirkan 'ruh baru' yang dapat mengantisipasi perubahan. "  Jika demikian, tradisi OAM itu akan memberikan peluang bahwa kebudayaan jawa itu bersifat terbuka.  Sehingga keterbukaan itu hendaknya tidak diarahkan ke hal yang spekulatif, asal-asalan, melainkan mengarah kepada hal yang konstruktif, berbagai penemuan baru di segala aspek.

Berbeda dengan othak-athik gathuk, yang lebih cenderung kepada 'yang penting pas' atau 'yang penting nyambung', OAM atau othak-athik mathuk ini menuntut kita kepada sesuatu yang harus benar-benar relevan, tidak asal nyambung atau dicocok-cocokan, yang malah berakhir dengan cocokmologi, spekulatif.  Kata mathuk dan gathuk dalam bahasa jawa juga meski 'sama' namun berbeda, OAM menuntut kita akan keabsahan ilmu atau perbendaharaan wawasan.

Tradisi OAM sebenarnya tidak lepas dari perbendaharaan wawasan, semakin luas wawasan seseorang, maka analisis OAM akan sangat bekerja dengan baik pada proses pemikiran, karena banyak sekali bahan pemikiran yang kemudian bisa dicari untuk memecahkan suatu masalah dalam perenungan.  Jika dituangkan kedalam garis besar, proses ilmu itu terjadi dalam tiga tahap:

OAM>PEMBUKTIAN>TEORI/PENEMUAN

Kita lihat pada proses di atas bahwa OAM menempati urutan pertama dalam pembentukan keilmuan, kenapa OAM?, karena sudah dijelaskan di atas bahwa OAM itu bekerja pada saat perenungan, tahap awal dari penciptaan segala ilmu, di tempat dimana filsafat mendapat kursi emas nya.

Jadi sebenarnya kita tidak bisa lagi menempatkan pola fikir OAM ke tataran bawah karena sesungguhnya pola fikir seperti ini adalah pola fikir yang dimiliki orang-orang jenius, disini letak segala perenungan hidup, disini imajinasi mendapatkan tempat yang paling layak, tempat dimana segala ide berkembang menjadi embrio-embrio hipotesis yang siap untuk dieksplorasi.  OAM jangan lagi dipandang sebagai sesuatu yang othak-athik gathuk, tapi tetap pada substansi nya yang othak-athik mathuk artinya tetap berdasarkan jalan keilmuwan yang memiliki tingkat ilmiah yang tinggi.

Sekian akhirnya saya memaparkan sedikit ilmu yang saya serap sehabis membaca buku bagus berjudul "Falsafah hidup Jawa" yang ditulis oleh Suwardi Endraswara ini, jika ada kesalahan kata mohon dikritik atau jika ada yang kurang mohon diberi saran.  Terimakasih, sampai jumpa di tulisan mendatang.







Tulisan ini banyak dipengaruhi oleh buku "Falsafah hidup Jawa"
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar